Sabtu, 30 April 2011

TINJAUAN ASPEK EKONOMI, EKOLOGI, PENGGUNAAN, DAN BENTUK SEDIAAN DI PASARAN DARI ACORUS CALAMUS


TINJAUAN ASPEK EKONOMI, EKOLOGI, PENGGUNAAN, DAN BENTUK SEDIAAN  DI PASARAN DARI ACORUS CALAMUS
Sriana Azis , Salma M.P.
Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional, Puslitbang Ekologi, Badan Litbang Kesehatan
ABSTAK
Acorus calamus atau jaringau telah digunakan sebagai obat sejak dulu oleh Mesir kuno dan Cina.  Jaringau telah digunakan pula di Eropah pada jaman pertengahan dan digunakan sampai sekarang, pada umumnya digunakan sebagai aprodisiaka, eliksir dan stimulans, serta digunakan untuk jampi-jampi.
Tinjauan ini dimaksudkan untuk memberi informasi bahwa sediaan obat tradisional yang mengandung  jaringau sebaiknya jaringau jangan digunakan lagi
Penggunaan jaringau sebagai fitokimia dan etnobotani masih banyak digunakan. Minyak atsiri  digunakan sebagai menghangatkan dan aroma. Rimpang  jaringau digunakan sebagai obat : antispasmodik, antelmintik, bronkhitis,  diare kronis, disentri, eksim, epilepsi, rematik, dan lain-lain.
Kandungan zat : isolasi dari rimpang jaringau terdiri dari acoradin, 2,4,5-trimetoksibenzaldehida, 2,5-dimetoksibenzokuinon, galangin dan sitosterol. Jaringau  kering mengandung 1,5 – 3,5 % minyak atsiri dan sebagian terbesar mengandung beta asaron.
FDA (Food and Drug Adminitration) menyatakan bahwa jaringau tidak aman dikonsumsi manusia karena mengandung  beta asaron yang bersifat zat karsinogen. FDA telah melarang penggunaan sediaan jaringau sebagai bahan tambahan makanan dan obat tradisional.

Key Word:  Obat tradisional
ABSTRCT
Aspect Review Economic, Ecology, Uses, and Preparation of Acorus calamus
Acorus calamus or jaringau has been used as medicinne since ancient in Egyp and China. Jaringau was used in Europe in midle aged, usually as approdisiaca, elixir, stimulant, and for mistic used.
This review is to inform that any traditional preparation containning jaringau should not be used anymore, because of the carcinogenic activity of it’s beta azaron..
Empirically and phytochemically jaringau is still widely used. Jaringau essential oil is used to keep the body warm and for flavor. Jaringau rhizome has been as antispasmodic, anthelmintic, to treat bronchitis, cronic diare, dysentry, eczema, rhematic, etc.
Chemically jaringau contain: acoradin with consist of 2,4,5-trimetoksibenzaldehida, 2,5-dimetoksibenzokuinon, galangin dan sitosterol. Dried jaringau contain 1,5 – 3,5 % essential oil mostly composed azaron;.
FDA stated that jaringau is not safe for human consumtion because of the carcinogenic activity of it’s beta azaron. FDA has also prohibited the used of jaringau as additive for food and traditional medicine.

Keey word : Traditional medicine
Pendahuan
Jaringau adalah obat tradisional yang telah digunakan sejak jaman dahulu seperti di Mesir dan Cina kuno, Pada jaman pertengahan jaringau sangat populer di Eropah sampai sekarang, pada umumnya  jaringau digunakan sebagai obat aprodisiaka, eliksir , stimulan dan jampi-jampi. Di Amerika digunakan oleh orang Indian sebagai obat stimulan dan halusinogen. Pada umumnya di Eropah minyak atsiri jaringau digunakan sebagai aroma rokok dan minuman keras. 1)
Pada saat ini banyak obat tradisional atau suplemen makanan  dari luar negeri beredar di pasaran, produk ini dijual di super market, toko obat atau dipasarkan melaui MLM (multi level marketing) dengan harga mahal. Para konsumen seharusnya jeli untuk memilih jangan terlalu percaya terhadap promosi obat yang tidak jelas khasiatnya dan baca komposisi obat.  Hindarilah  obat tradisional atau suplemen makanan yang mengandung jaringau/ kalmus/ calamus/ acorus/ sweetflag /shin ch”ang pu/ bachh/ rache, karena penggunaan dalam waktu lama jaringau dapat memicu timbulnya kanker/tumor.
 FDA (Food and Drug Adminitration) menyatakan bahwa jaringau tidak aman dikonsumsi manusia karena mengandung  beta asaron sebagai zat karsinogen. FDA telah melarang penggunaan seddiaan jaringau sebagai bahan tambahan makanan dan obat tradisional. 2)
Tinjauan ini dimaksudkan memberi informasi kepada masyarakat bahwa sediaan obat tradisional yang mengandung  jaringau sebaiknya  jangan digunakan lagi
Tinjauan ini menggunakan buku rujukan, hasil penelitian dari dalam dan luar negeri. Studi meliputi nama, diskripsi, dan kandungan zat; ekologi, aspek ekonomi dan larngan penggunaanya; ;pengguaan pada masyarakat; bentuk sediaan jamu di pasaran dan harapan masa depan. Data dianalisis secara dekriptif.

Nama , Diskripsi, dan Kandungan Zat

1.      Nama 3), 4)

·         Nama botani : Acorus calamus.
·         Nama daerah : Jerenge (Aceh), jerango (Gayo dan Batak Karo), serago (Nias), daringo/ jariango (Sunda), dlingo/ dringo (Jawa), jhariango (Madura dan Banjar), areango (Bugis), kareango (Makasar), kalumunga (Minahasa), jahangu (Bali), kaliraga (Flores), gunuak (Timor), bila (Buru), aiwahu (Arafuru, daringo (Ambon). 3)
Nama lain :Sweet Flag (Eropah), kalmus, calamus/ acorus (generik), bachh (Hindu), racha (verdic),  shih-ch”ang pu (Cina).
Famili : Araceae. 4)
2. Diskripsi  5)
·         Habitus : Herba tahunan tinggi lebih kurang 75 cm.
·         Batang : Batang basah pendek membentuk rimpang putih kotor.
·         Daun : Tunggal bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal memeluk batang ,       

PEDOMAN PENGGUNAAN INJEKSI YANG AMAN


PEDOMAN PENGGUNAAN INJEKSI YANG AMAN

 Max J. Herman, Sriana Azis
Puslitbang Farmasi, Badan Litbang Kesehatan

ABSTRACT

Injection are very important for many medications and for immunization. In many health centres in the world a patient treatment often consist of administering an injection and prescribing several pills. Health workers are confronted with patients who prefer injection to oral medication. The economic factor may also increase, because the health personel can demand a higher fee for administering injections than for prescribing tablets.
Recent surveys have shown that a very hight percentage of injection are unsafe. Unsafe injections can result in the transmission from one patient to another of such injection complications as HIV/AIDS, hepatitis B, malaria and dengue. The community is at risk when used injection equipment is carelessly disposed of and because of is commercial value, retrieved, resold and reused.
WHO and UNICEF are working together in a determined commitment to raise awareness of the importance of injection safety, WHO and UNICEF have launched numerous activities to improve the safety of injection including the introduction of new technologies and research on the cultural and sosial factors which have led to an increasing demand for injection.
The solution requires the health workers to be involved themselves in efforts to reduce the number of injection administered.








PENDAHULUAN


Pengobatan secara injeksi sangat diperlukan untuk obat-obat tertentu dan imunisasi. Dari hasil pengamatan WHO ternyata injeksi diberikan secara luas, penggunaannya berlebihan dan disalahgunakan (1).
Di sebagian puskesmas di dunia banyak diberikan obat secara suntik dan oral. Hal tersebut dilakukan karena pasien lebih merasa cepat sembuh bila diberi suntikan dibanding pemberian secara oral.
Dari hasil pengamatan WHO ternyata pemberian suntikan immunisasi 30% tidak aman dan suntikan ahal 50% tidak aman. Pemberian pengobatan secara suntik dapat mengakibatkan (1)

1.      Biaya pengobatan menjadi lebih mahal
2.      Efek samping lebih parah dibandingkan tablet
3.      Jarum suntik yang dipakai berulang-ulang dan tidak steril  dapat menularkan penyakit (hepatitis B, HIV, malaria, demam berdarah) dan menimbulkan infeksi
4.      Jarum suntik yang dibuang sembarangan dapat membahayakan lingkungan. Oleh karena  harus ada tehnologi dan biaya pemusnahan jarum suntik
5.      Pemberian tunsikan pada anak kecil beresiko merangsang timbulnya kelumpuhan (95%) pada penyakit polio

Berdasarkan hal tersebut WHO dan UNICEF bekerjasama untuk menetapkan perjanjian untuk meningaktkan kesadaran akan manfaat keamanan injeksi WHO dan UNICEF menerbitkan bekerja aktivitas untuk meningkatkan keamanan injeksi, termasuk memperkenalkan tehnologi sterilisasi alat suntik dan reset pada sosial dan budaya akan meningkatkan penggunaan injeksi.
Pekerja kesehatan dapat membantu untuk mendorong penurunan penggunaan injeksi oleh pasien. Dengan cara menjelaskan efek samping pemberian injeksi.
Paparan ini menjelaskan tentang injeksi dan keamanan injeksi yang berlebihan, pemilihan alat injeksi, persiapan pemberian injeksi.




INJEKSI DAN KEAMANAN


Pengobatan secara injeksi banyak digemari oleh pasien di seluruh dunia. Para pasien merasa bahwa bila diberi injeksi penyakitnya akan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan pemberian pil. Harga 1 ampul injeksi diperkirakan setara dengan 10 pil sejenis dengan dosis yang sama. Disamping itu penggunaan alat suntik yang tidak steril dan digunakan bergantian dapat menimbulkan abses, penularan penyakit (hepatitis B, HIV dll.), injeksi pada anak berpenyakit polio dapat menimbulkan kelumpuhan.
Dari hasil pengamatan WHO di negara-negara yang sedang berkembang ternyata di Ekuador 51% pasien lebih senang disuntik, di Uganda berkisar antara 60-70% dan di Indonesia berkisar antara 70-90% (1).
Meskipun dari hasil penelitian pemberian suntikan dinyatakan kurang aman, tetapi masih merupakan alat vital untuk immunisasi measles 2,2 milyar anak berumur di bawah 15 tahun, 220 juta perempuan untuk mencegah tetanus neonatal dan 50 juta injeksi KB (1)(2).

Cara merubah kebiasaan disuntik sangat suka

Seringkali pekerja kesehatan sukar untuk menolak permintaan pasien untuk diinjeksi. Demikian juga pasien sukar untuk merubah kebiasaannya meskipun sudah dijelaskan tentang efek samping injeksi.
Pekerja kesehatan cenderung memberikan suntikan atas permintaan pasien, karena dapat meningkatkan jumlah pasien meskipun biayanya lebih mahal.
Dari hasil penelitian WHO/UNICEF ternyata pekerja kesehatan lebih sering memberi injeksi yang sebenarnya tidak perlu. Sebenarnya penyakitnya dapat diberi obat per oral selain lebih aman, efektif dan lebih murah 1).

Injeksi di Puskesmas

Para pekerja kesehatan di Puskesmas memberikan injeksi disebabkan permintaan pasien. Meskipun sudah ada kebijaksanaan “Injeksi hanya diberikan bila ada indikasi”, tetapi sering kali pemberian injeksi digunakan untuk menaikkan pendapatan Puskesmas atau tidak ada pilihan lain dari pada pasien pindah ke tempat lain.
Dari hasil survei Max J. Herman (1997) ternyata dari 20 Puskesmas di 2 kabupaten di Sumatera Barat rasio penggunana injeksi hanya 0,3%, tetapi di Jawa Timur rasio penggunaan injeksi 67% sangat tinggi.
Menurunkan penggunaan injeksi yang berlebihan adalah merupakan tanggungjawab pimpinan Puskesmas.
Pencegahan efek samping penggunaan injeksi (1).
1.      Penularan HIV atau hepatitis B dari pasien satu ke yang lain dicegah dengan cara penggunaan alat suntik sekali pakai.
2.      Pencegahan terjadinya abses pada bekas suntikan adalah dengan memastikan bahwa alat suntik  benar-benar steril; pemotong ampul dan tutup ampul harus dibersihkan dengan desinfektan atau disterilkan.
3.      Setelah pemberian suntikan pasien harus dimonitor selama 30 menit untuk mengamati terjadinya gejals syok yang meliputi terasa dingin, berkeringat, pucat, keringat dingin, cemas, detak jantung cepat, sukar bernafas dan hilang kesadaran. Bila gejala ini ada segera suntik dengan adrenalin (dewasa ½ ml, anak-anak ¼ ml), obati pasien syok diberi antihistamin dengan dua kali dosis normal. Monitor pula pasien yang sering mengalami abses pada bekas suntikan.
4.      Alat suntik dirusak segera setelah dipakai dan buang (bakar atau ditanam) agar tidak dijual atau dipakai lagi. Jelaskan pada pekerja kesehatan dan pesuruh muda bahaya penggunaan alat suntik bekas dapat ketularan penyakit Hepatitis B dan HIV/AIDS.

PENGGUNAAN INJEKSI YAGN BERLEBIHAN


Salah satu penggunaan yang penting injeksi adalah untuk immunisasi pada anak-anak. Para petugas kesehatan harus merusak alat injeksi setiap kali habis menginjeksi. Hal ini untuk mencegah penularan penyakit dan agar alat injeksi tersebut tidak digunakan lagi.
Bilamana pengobatan yang harus/tidak menggunakan injeksi seperti yang tertera di bawah ini (1).









Harus menggunakan injeksi
Tidak harus menggunakan injeksi
1.      Obat yang penggunaannya hanya dengan injeksi
2.      Bila pasien sering muntah atau tidak sadar
3.      Dalam keadaan darurat misalnya pnemonia parah, infeksi setelah melahirkan, keracunan bisa ular, meningitis, reaksi alergi yang parah, sipilis dan gonorhou.




1.      Jangan diberi suntikan bila penyakit tidak memerlukan pertolongan cepat.
2.      Jangan diberi suntikan bila penyakitnya tidak parah
3.      Jangan diberi suntikan pada pasien batuk & flu
4.      Jangan diberi injeksi bila pedoman pengobatannya tidak menggunakan injeksi
5.      Jangan diberi injeksi kecuali anda tahu semua pedoman pengobatannya.

Komplikasi injeksi yang tidak aman

Injeksi vaksinasi atau pengobatan dapat aman bila menggunakan alat injeksi yang steril dan tajam. Komplikasi injeksi yang tidak aman dapat menimbulkan infeksi dan tidak infeksi.
Komplikasi infeksi hepatitis B dan C, HIV, disebabkan menggunakan alat injeksi berulang-ulang seperti demam berdarah dan malaria atau efek samping langsung dari alat injeksi yang tidak steril seperti abses, septisimia dan tetanus. Komplikasi tidak infeksi keracunan atau syok anafilaksi.
Pemberian transfusi pada penderita AIDS di Amerika menimbulkan kasus penularan HIV pada petugas karena kecelakaan jarum melukainya, terjadi hampir / kasus (0,35%) dari 286 kejadian. Bila jarum transfusi digunakan berulang-ulang terjadinya kasus akan meningkat 10 kalinya (3,5%) 1)
Penularan hepatitis B dan C dapat terjadi bila menggunakan alat dialisis yang sudah tertular oleh vial heparin yang tercemar. Vial heparin tertular dari jarum injeksi yang digunakan berulang-ulang.
Bahaya lain adalah paralisis trauma disebabkan poliomilitus, injeksi yang tidak perlu dan BCG limfadenitis. Efek samping lainnya adalah penggunaan dosis obat yang kurang tepat atau over dosis, serta petugas yang kurang terlatih.

Injeksi yang aman (1)(2)
1.      Jelaskan pada pasien resiko pemberian injeksi dengan alat yang kotor, yakinkan pada pasien bahwa pemberian oral lebih aman dan efektifitasnya sama
2.      Jarum dan alat injeksi keduanya dapat terinfeksi Jangan !  gunakan lagi jarum dan alat injeksi yang tidak steril.
3.      Jangan mengemas kembali jarum alat injeksi sekali pakai, alat ini harus langsung dirusak dan dibuang.
4.      Sterilkan jarum dan alat injeksi pakai ulang selama 20 menit.
5.      Gunakan indikator TST untuk menuju proses sterilisasi
6.      Suntik di tempat yang benar, resiko kerusakan syaraf, bila anak atau orang dewasa disuntik di pantat terlalu dalam.
Untuk meminimalkan resiko injeksi, para petugas kesehatan seharusnya mendapat pelatihan pemberian injeksi yang aman dan menggunakan alat injeksi sekali pakai.

PEMILIHAN ALAT INJEKSI (1) (2)
Ada beberapa jenis alat injeksi, sebagai berikut :
1.      Alat injeksi berulangkali pakai
Alat ini jaman dulu dibuat dari kaca tetapi sekarang dibuat dari plastik (kwalitas tinggi) dengan alat semprot dan jarum dibuat dari stainles steel dapat digunakan selama 50 sampai 200 kali injeksi. Setiap selesai digunakan untuk injeksi, jarum harus dilepaskan dengan pingset jangan dengan jari masukan dalam air dan disterilkan dengan alat sterilisasi uap selama 20 menit pada suhu 121-126°C.
Indikator sterilisasi disebut Time, Steam and Temperature (TST) atau lama, uap dan suhunya tepat. Sterilisasi uap dapat mematikan virus, bakteria dan spora, termasuk penyebab abses, tetanus, hepatitis B, C dan HIV.
Bila jarum sudah tumpul atau rusak jangan digunakan lagi. Jangan mengasah jarum suntik.
Dari hasil pengamatan WHO penggunaan alat injeksi berulangkali pakai yang hanya diganti jarumnya saja ternyata di daerah endemik HIV masih menularkan HIV. Demi menjaga keamanan petugas harus mengganti alat suntiknya setiap ganti pasien.

2.      Alat suntik sekali pakai
Alat suntik sekali pakai disterilisasi oleh pabriknya. Sterilisasi dijamin sampai waktu daluarsa, jangan membuang alat suntik sekali pakai di sembarang tempat atau jangan mengemas kembali alat suntik tersebut agar tidak digunakan atau dibuat mainan oleh anak-anak, seharusnya setelah menggunakan alat suntik sekali pakai dirusak dan segera dibuang setelah habis kerja. Di suatu saat akan dianjurkan di Puskesmas untuk menggunakan alat suntik sekali pakai karena lebih praktis.

3.      Alat injeksi Auto-Destinct
Alat injeksi ini setelah satu kali pakai otomatis rusak dan disterilisasi oleh pabriknya. Alat ini pada umumnya digunakan untuk program immunisasi agar aman. Ukuran alat injeksi ini adalah 0,5 ml sesuai standar WHO program imunisasi vaksin kecuali BCG.
4.      Jet injector (Penginjeksi Jet)
Jet injector digunakan untuk immunisasi dengan tekanan tinggi menggunakan sistem kompresi. Alat ini digunakan di klinik sewaktu kampanye immunisasi. Keuntungan utama alat ini dapat digunakan untuk beberapa kali. Akan tetapi belum diketahui dengan pasti apakah dapat menularkan hepatitis B atau HIV. Tetapi kenyataannya WHO tidak lagi menyarankan untuk menggunakan alat ini.

Cara perawatan dan pembuangan alat injeksi

1.      Sediakan tempat untuk jarum dan alat injeksi berulang-ulang kali pakai, setelah menginjeksi lepaskan jarum dengan pingset masukkan masing-masing kewadahnya, kemudian disterilisasi. Bila jarumnya tumpul harus dibuang.
2.      Disediakan tempat pembuangan alat injeksi sekali pakai, Auto-destruch dan alat injeksi lainnya setelah selesai kerja langsung dibakar atau ditanam sedalam 0,5 m.

PERSIAPAN PEMBERIAN INJEKSI

Hampir semua petugas kesehatan mendapat pelatihan pemberian injeksi yang aman. Dibawah ini adalah bagaimana persiapan pemberian Injeksi bila tidak ada dokter (1).

Cara sterilisasi jarum suntik (1)(2)
1.       Masukkan alat suntik dengan pingset ke dalam air mendidih dan didihkan selama 20 menit
2.       Tuangkan air tanpa menyentuh alat suntik dan jarum
3.       Gunakan pingset untuk memasang jarum ke dalam alat suntik
4.       Bersihkan ampul dengan air suling dan pecahkan ampul
5.       Isi alat suntik dengan obatnya, hati-hati jangan sampai jarum menyentuh bagian luar ampul.
6.       Bila obat berupa serbuk dalam vial, bersihkan tutup karet dengan kapas yang dibasahi alkohol atau air suling
7.       Suntik vial dengan air suling dan kocok sampai obat lasut.
8.       Isi jarum suntik dengan obat
9.       Tegakan jarum suntik dan keluarkan semua udara.

Perhatian : Hati-hati jangan menyentuh jarum suntik dengan segala sesuatu walaupun dengan
                  kapas yang dibasahi alkohol.
                  Gantilah jarum bila tersentuh tangan atau barang lainnya dan didihkan kembali.

Dimana yang disuntik (1)
                                                          - Sebaiknya disuntik di atas pinggul
 seperti terlihat pada gambar 1.
                                                                   - Jangan menyuntik pada kulit yang
                                                                     terinfeksi atau ruam kulit.
                                                                   - Jangan menyuntikk anak yang ber-
                                                                     umur di bawah 2 tahun diatas
                                                                     pinggul. Suntiklah ia di paha atas
             Gambar 1                                        bagian luar.

Bagaimana cara menyuntik (1)
1.          Bersihkan kulit dengan sabun dan air atau alkohol, untuk menghindari rasa sakit pastikan benar bahwa alkoholnya sudah kering
2.          Tusukkan jarum, kerjakan dengan gerakan cepat untuk mengurangi rasa sakit.
3.          Setelah jarum ditusukkan, pompa ditarik untuk melihat apakah jarum masuk ke pembuluh darah, bila masuk ke pembuluh darah pindahkan.
4.          Bila tidak ada darah masuk, muntahkan obat pelan-pelan.
5.          Cabut jarum dan bersihkan kulit kembali
6.          Setelah selesai cuci alat suntik dengan air, sterilkan alat suntik sebelum digunakan kembali
7.          Sebaiknya menggunakan alat suntik sekali pakai karena lebih aman tetapi harganya sekitar Rp. 3.000,-

Praktek yang berbahaya (1)(2)
Di beberapa negara, sterilisasi alat suntik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak selalu baik.
Ada beberapa kesalahan, sebagai berikut :
1.      Menggunakan jarum dan alat suntik yang telah digunakan
2.      Jarum suntik diganti setiap penyuntikan, sedangkan alat suntiknya sama.
3.      Tidak merusak alat suntik sekali pakai setelah digunakan
4.      Mendidihkan alat dan jarum suntik kurang dari 20 menit
5.      Airnya tidak sampai mendidih
6.      Mendiamkan alat dan jarum suntik dalam air mendidihdan diambil bila diperlukan,setelah digunakan dikembali lagi.
7.      Membersihkan alat dan jarum suntik dengan alkohol atau desinfeksi lainnya meskipun disterilisasi.
8.      Tidak mencuci alat jarum suntik sebelum di sterilisasi
9.      Tidak memisahkan alat suntik dan jarumnya sebelum disterilisasi
10.  Menyimpan alat dan jarum steril di tempat yang tidak steril.

Hal yang harus diperhatikan

Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian obat secara suntik, sebagai berikut :
1.      Harus diketahui benar reaksi obat yang akan timbul dan jelaskan hal yang harus diperhatikan sebelum injeksi
2.      Hindari pemberian obat secara suntik pada anak-anak kecuali imunisasi
3.      Jelaskan pada pasien bahaya pemberian obat secara injeksi dan sarankan pemberian obat secara oral.
4.      Hindari pemberian senyawa obat yang sama pada pasien yang pernah mengalami alergi.
5.      Tanda-tanda alergi meliputi ruam kulit diserta gatal, bengkak dimana-mana, sukar bernafas, tanda-tanda syok, pusing diikuti mual, gangguan penglihatan, telinga berdering, ketulian, nyeri punggung dan sukar kencing.
6.      Injeksi penisilin sering menyebabkan reaksi yang parah dianjurkan untuk diberikan secara oral.
-          Tanyakan apakah pasien pernah alergi terhadap obat tersebut
-          Sebelum injeksi sediakan satu ampul adrenalin
-          Setelah injeksi pasien harus tinggal selama 30 menit
-          Bila pasien berubah menjadi pucat, detak jantung sangat cepat atau sukar bernafas atau mulai lemas. Segera suntik dengan setengah ampul adrenalin dan untuk anak-anak sepertempat ampul dan bila perlu suntikan diulangan dalam 10 menit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberian obat secara injeksi masih sangat diperlukan, misal untuk pemberian obat pada pasien yang tidak dapat menelan obat atau imunisasi. Dari hasil pengamatan WHO penggunaan obat suntik di pusat pelayan kesehatan masih berlebihan, karena permintaan pasien.
Dalam rangka untuk mengurangi penggunaan obat suntik yang diminta oleh pasien di Puskesmas, dilakukan tindakan, sebagai berikut :
1.      Jelaskan pada pasien resiko penggunaan jarum suntik, misalnya :
-          Dapat menularkan penyakit hepatitis B dan AIDS
-          Dapat menimbulkan reaksi alergi yang parah

-          Dapat menimbulkan abses bila jarum suntik tidak steril
2.      Jelaskan pada pasien penggunaan obat per oral lebih aman dan khasiatnya sama dengan suntikan
3.      Setiap pasien yang meminta suntikan diharuskan membeli jarum suntik sekali pakai sendiri
Dilakukan simulasi antar group tentang bahaya penggunaan obat dengan cara suntik.
Dalam rangka menjaga keamanan para petugas kesehatan harus dilatih dan ditingkatkan pengetahuannya tentang :
1.      Bagaimana cara menyiapkan sterilisasi alat dan jarum suntik.
2.      Dimana tempat yang baik untuk disuntik
3.      Bagaimana cara menyuntik yang baik
4.      Apa yang harus diperhatikan sewaktu menyuntik
5.      Menghindari kesalahan selama proses penyiapan sampai penyuntikan pada pasien.
6.      Merubah prilaku pasien agar tidak mengenangi pemberian secara suntik.

DAFTAR PUSTAKA


1.         UNICEF, Guidelines on the Rational use of Drugs in Basic Health Services, The Prescriber, No. 15th, May 1998.
2.         WHO, Injectable Contraceptives – Sterilization Alert, New Flash, October 1987.
3.         Herman, Max J., Determination of some Indicators of Pharmaceutical Management at 20 Puskesmas in West Sumatera, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia no.11, 1999

Pharmaceutical management assessment at 20 Puskesmas in East Java


Pharmaceutical management assessment at 20 Puskesmas in  East Java
( Malang and Pasuruan ): An indicator approach

Max J. Herman, Sriana Azis, Sudibyo Supardi

National Institute of Health Research and Development

Ministry of Health, Indonesia


Abstrak
     Telah dilakukan analisis yang mencakup akses pasien, penggunaan obat, anggaran obat dan  logistik farmasi untuk suatu penilaian kemajuan dalam manajemen farmasi pada 20 Puskesmas di Kabupaten Malang dan Pasuruan, provinsi Jawa Timur. Dari data Laporan Pemakaian – Lembar Permintaan Obat (LP-LPO), data sekunder Departemen Kesehatan dan Biro Pusat Statistik tahun 1997/1998 dapat dihitung dan disimpulkan bahwa (1) rasio penduduk per Puskesmas adalah 37.346, (2) rasio penduduk per tenaga farmasi berijin (apoteker dan asisten apoteker) adalah 32.771, (3) rasio penduduk per penulis resep  tahun 1996 (dokter, dokter gigi, perawat, bidan) 1.821, (4) jumlah rata-rata obat diresepkan per kunjungan kuratif rawat jalan 3,3 , (5) persentase pasien yang mendapatkan injeksi 23 % dan (6) persentase pasien yang mendapatkan antibiotika 41 %, (7) rasio anggaran Dep.Kes. (Inpres) per kapita tahun 1997/1998 di Jawa Timur sebesar Rp. 727,69 ,- (8) persentase rata-rata waktu stok obat indikator kosong dalam tahun 1997/1998 adalah 7,60 %.

Kata kunci : manajemen farmasi,  pendekatan indikator

ABSTRACT

     An analysis of indicators covering patient access, drug use, drug budget and pharmaceutical logistic to assess the advance in pharmaceutical management at 20 Public Health Centres in Malang and Pasuruan Districts, East Java has been conducted. Out of 1997/1998 Laporan Pemakaian – Lembar Permintaan Obat (LP-LPO, Drug-use Report and Drug-request Form), Ministry of Health and Statistical Bureau secondary, it can be computed and concluded that : (1)

ratio of population per Puskesmas was 37,346, (2) ratio of population per registered pharmacist or pharmacy technician in the public sector was 32,771, (3) ratio of population per authorized prescriber (physicians, dentists, nurses and midwives) in 1996 was 1,821, (4) average number of drugs prescribed per curative outpatient encounter was 3.3, (5) percentage of outpatients given injections was 23% and (6) percentage of outpatients given antibiotics was 41%, (7) MOH budget on pharmaceuticals per capita within 1997/1998 in East Java was Rp. 727.69 and (8) average percentage of time out of stock for a set of indicator drugs in 20 Puskesmas storage was 7.60%.

Key word : pharmaceutical management, indicator approach


Introduction
     An assessment of  pharmaceutical management through some indicators at 20 Puskesmas
( Primary Health Centre ) in District Malang and Pasuruan, East Java, may serve as an approach for rapidly assessing pharmaceutical management system and program.  Rapid assessment should result in an analysis of why the problem that exist have come to pass, which problems can be solved and what intervention are feasible in term of cost effectiveness and sustainability.
     This article presents a set of eight indicators, grouped under three topics of Rapid Pharmaceutical Management Assessment ( 1 ) concerning Patient Access and Drug Utilization, Ministry Of Health Budget and Finance as well as Ministry of Health Pharmaceutical Logistics with two objectives, i.e. (1) To monitor pharmaceutical management on a regular basis at Puskesmas and (2) To standardize measurements of a local pharmaceutical management.
     Data were collected from 20 Puskesmas in 2 districts ( Pasuruan and Malang ) in East Java in the year of 1997/1998, including secondary data.

Methods
     A retrospective assessment of pharmaceutical management through some indicators was conducted at 20 Puskesmas in District Malang and Pasuruan that may not be valid at other Puskesmas in Indonesia. The assessment, conducted according to WHO ‘95, covers the number of
population per functional Puskesmas, registered pharmacist or pharmacy technician and prescriber respectively, the average number of drugs prescribed, percentage of outpatients prescribed injections and antibiotics, MOH budget on pharmaceuticals per capita and the average percentage time out of stock for a set of indicator drugs. Data of 10 Puskesmas out of  each district were collected from the most recent report published by the authority, the population data, Profil Kesehatan Indonesia 1998, the medical records, the indicator drugs-list developed by Ditjen POM and the LP-LPO.

 

Operational Definition

      The indicators involved can be defined as follows :
·         Population per functional Puskesmas that dispenses drugs in East Java, is the ratio of population to any  fixed Puskesmas that dispenses drugs to inpatients or outpatients.
·         Population per registered pharmacist or pharmacy technician in the public sector in East Java, is the ratio of population to any pharmacist or pharmacy technician who work full or part-time in Puskesmas.
·         Population per authorized prescriber in the public sector in East Java, is the ratio of population to authorized physicians, dentists, nurses and midwives.
·         Average number of drugs prescribed per curative outpatient encounter in 20 Puskesmas is the average of  the number of drugs prescribed, where each drug written separately is counted as a separate drug prescribed.
·         Percentage of outpatients prescribed injections at 20 Puskesmas is the percentage of outpatients given intravenous or intramuscular drugs for curative encounters.
·         Percentage of outpatients prescribed antibiotics at 20 Puskesmas is the percentage of outpatients given antibacterials, anti-infectives and anti-diarrheal drugs containing antibiotics for curative encounters.
·         MOH budget on pharmaceuticals per capita is the total amount of money spent on pharmaceuticals by all MOH sources for the most recent year, per individual in the population. MOH budget is the budget of Inpres for pharmaceutical purchases within 1997/1998 in East Java.
·         Average percentage of time out of stock for a set of indicator drugs in 20 Puskesmas storage is the average of the percentage of the number of days that a product was not available in a Puskesmas over a recent twelve month period.

Results
     The population per functional Puskesmas that dispenses drugs in East Java can be computed by dividing the total Eastern Java population, that was 34,507,700 by the number of Puskesmas, i.e. 924. In 1997 the number of population per functional Puskesmas  was 37,346.
     The population per registered pharmacist or pharmacy technician can be computed by dividing the number of population, that was 34,507,700 by the combined number of pharmacists and pharmacy technicians, i.e 264 + 789 = 1,053. In 1997 the ratio in East Java was 32,771.
     The population per authorized prescribers in the public sector in East Java during the year of 1996 can be computed by dividing the number of Eastern Java population, that was 34,205,600 in 1996 by the combined number of authorized prescribers, i.e. 2,970 + 985 + 8,030 + 6,795 = 18,780.  In 1996 this indicator was 1,821.
     The average number of drugs prescribed per curative outpatient encounter in a Puskesmas can be computed by dividing the total number of drugs prescribed in all encounters by the total number of curative encounters studied in all Puskesmas. In East Java in 1997/1998 the average number of drugs prescribed per curative outpatient encounter was 3.3 drugs per encounter ( Table 1 ).
     The percentage of outpatients prescribed injections at one Puskesmas can be obtained by dividing the total number of patients prescribed injections by the total number of  patient encounters surveyed and multiplying by 100. In 1997/1998 in East Java the overall indicators , i.e. the averages of  these percentages,  was 23 %.
     The percentage of outpatients prescribed antibiotics at Puskesmas can be computed by dividing the total number of patients prescribed antibiotics by the total number of patient encounters surveyed and multiplying by 100. In East Java in 1997/1998 the overall indicators , i.e. the averages of these percentage, was 41 %.
     The MOH drug budget ( Inpres ) on pharmaceuticals in East Java in 1997/1998 was Rp. 25,111,066,000,- ,  while the number of population at the same year was 34,507,700 ,giving a ratio of Rp. 727.69,- per capita that was equal to 32 cents US$ in 1997 or nearly equal to ten cents US$ in 1999.
     The average percentage of time out of stock for a set of indicator drugs in a Puskesmas storage can be computed by dividing the number of  stockout days for all indicator drugs by 365 times the
total number of indicator drugs normally stocked, i.e. 15 items, and multiplying it with 100%
( see Table 1 ).


Table 1. Some indicators for assessing  Pharmaceutical Management in 20 Puskesmas        
              in East Java in 1997/1998

No.
    Time out of stock
Number of drugs presc.
   patients prescr.inj.
   patients presc. Ab

Total (days)
   %
    Total
  Average
    Total
       %
    Total
       %    
  1
       690
 12.6
     104
      3.5
      15
      50
      17
       57
  2
       390
   7.1
     103
      3.4
      15
      50
      14  
       47
  3
       480
   8.8
       93
      3.1
        4
      13
      12
       40
  4
       480
   8.8
     104
      3.5
      20
      67
      11
       37
  5
       390
   7.1
       90
      3.0
      17
      57
      10
       33
  6
       360
   6.6
     102
      3.4
      13
      43
      14
       47
  7
       570
 10.4
       81
      2.7
        0
        0
        9
       30
  8
       750
 13.7
       76
      2.5
        0
        0
      10
       33
  9
       120
   2.2
    104
      3.5
      11
      37
        9
       30
 10
       390
   7.1
    110
      3.7
        8
      27
      18
       60
 11
       390
   7.1
    103
      3.4
        4
      13
      15
       50
 12
       360
   6.6
      75
      2.5
        1
        3
      10
       33
 13
       360
   6.6
    129
      4.3
        0
        0
      21
       70
 14
       480
   8.8
     98
      3.3
        5 
      17
      14
       47
 15
       360
   6.6
    107
      3.6
        0
        0
      10
       33
 16
       360
   6.6 
    101
      3.4
        0   
        0
      17
       57
 17
       390
   7.1
      97
      3.2
        2
        7
      17
       57
 18
       780
  14.5
      93
      3.1
        0
        0
      12
       40
 19
       210
    3.8
    123
      4.1
      20
      67
      22
       73
 20
           0
    0 
      88
      2.9 
        0
        0
        4
       13
Avr
       415.5 
   7.6
      99.2
      3.3
        6.8
       23
       12.2
       41

In 1997/1998 the average percentage of  time out of stock in East Java =    415.5     x 100 % =                                                                                                                                   
                                                                                                                   365 x 15
7.60 %.                                   
Discussion
     In 1997 an average of  37,346 population per Puskesmas in East Java was greater than the results of PAHO surveillance in some developing countries. This indicator may provide a rough measure of access to and availability of pharmaceutical services and the information will allow health planners and evaluators to assess and monitor strategies in order to improve distribution and access to pharmaceuticals.
     MOH facilities in East Java in 1997 had a ratio of 32,771 population per registered pharmacist or pharmacy technician. This indicator may be an important constraint in some developing countries concerning the unavailability of technically skilled human resources and can provide a rough measure of access to them. Health care systems with a high ratio of this should include in their human resource management plan the recruitment, training and development of this important resource in order to bring about improvements in service delivery.
     Adequate numbers of technically qualified staff who are authorized to prescribe medicines are essential to a sound health care system. In East Java  in 1996 the ratio was 1,821 population per authorized prescriber in the MOH health system. This indicator provides a rough measure of access to health care providers in the public sector who are authorized to prescribe drugs.
     From 20 Puskesmas in East Java in 1997/1998 it was found that an average of 3.3 drugs prescribed per curative outpatient encounter and that is greater than the results of PAHO surveillance in some developing countries, viz. 2.1 drugs prescribed per curative outpatient encounter in MOH health facilities ( see Table 1 ). This indicator actually may describe prescriber behaviour, since too high or too low an average number prescribed can indicate poor prescribing practices. The reason for this phenomenon may vary from the lack of pharmaceutical information and education to chronic lack of supplies that force health workers to prescribe what is available and need a more profound study to determine the dominant cause.
     Table 1 also shows that the percentage of  outpatients prescribed injections and antibiotics at Puskesmas are respectively 23 % and 41 %. These values are smaller than the results of PAHO surveillance, i.e. 25 % for injections and 43 % for antibiotics. These percentages may reflect how properly these drugs are used and can influence cost reduction and effectiveness as well as safety of the drugs.
     The results show that the MOH drug budget on pharmaceuticals per capita in 1997/1998 for East Java was Rp. 727.69,- or nearly equal to 32 cents US$ in 1997 which is still smaller than the results of PAHO surveillance in 9 developing countries in 1994, i.e. approximately 2.10 US$. Assuming that there is no increase in the MOH budget on pharmaceuticals in 1999  ( Inpres ), drug budget per capita is equal to ten cents US$. This value is a measure of the adequacy of financing for pharmaceuticals in the public sector and government financing in Indonesia has decreased in recent years due to inflation and an increase in population.
     The percentage of time out of stock for a set of indicator drugs represents a measure of a procurement and distribution system’s capacity to maintain a constant supply of drugs. Table 1 shows that in 1997/1998 the average percentage of  time out of stock in Puskesmas in East Java was 7.60 % which is just a smaller than the results of PAHO surveillance in some developing countries ( 12 % ).

Conclusions        
     The eight indicators for assessing pharmaceutical management determined at 20 Pukesmas in East Java in 1997 are as follows :
1.      In 1997 the number of population per Puskesmas in East Java was 37,346.
2.      The population per registered pharmacist or pharmacy technician in 1997 in East Java was 32.771.
3.      In 1996 the number of population per authorized prescriber in the public sector in East Java was 1.821.
4.      In East Java in 1997/1998 the average number of drugs prescribed per curative outpatient encounter was 3.3 drugs per encounter.
5.      In 1997/1998 from 20 Puskesmas in East Java the percentage of outpatients prescribed injections was 23 %.