Minggu, 05 Juni 2011

ANALISIS PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN SEDIAAN FARMASI SELAMA KRiSIS

ANALISIS PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN SEDIAAN FARMASI SELAMA KRiSIS

Sriana Azis, Sudibjo Supardi, Max J. Herman, Rini Sasanti
Puslitbang Farmasi, Badan Litbang Keshatan & Kesos.

ABSTRACT

In 1999, the Directorate General Drug and Food Control of the Ministry of Health (MoH) of the government of Indonesia (GoI) commissioned in comprehensive study on Supply and Distribution of Pharmaceutical in Indonesia.The strong concern of this analysis is related to intern report of Responding to the Crisis Supply and Distribution  of Pharmaceutical. The objective of this study was provided a general analysis and recommendation how to improve significantly Supply & distribution of pharmaceutical in Indonesia and to give some indications for further step to be made by key-decision for developing a sustainable and cost-efficient renewed drug sector. The recomandation of this study was produce a more detail assessment of pharmaceutical management and to support in the design and implemention of strategies.
The Pharmaceutical Resarch and Development Centre, Institute National Heolth Research and Development (MoH) had some research can supported the recomentdation of this research. There are  such as: the research on  Study of Drug Price Component (1997 /1998); Devlopment of the manual of Pharmaceutical management assessment in Puskesmas based on indicator approach ( 1999 /2000) and additionally field test in Kabupaten Pekalongan (2001), it intergrated drug policies into manual stadard of pharmaceutical management assessment of health facilities; and Devlopment of the manual of Pharmaceutical management assessment in RSU Kabupaten based on indicator approach ( 2001).

Key word : pharmaceuticl management

LATAR BELAKANG

Pada awal tahun 1999 Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dengan biaya dari Bank dunia mengadakan studi secara komprehensif tentang Pengadaan dan Distribusi sediaan farmasi di Indonesia.. Tujuan umum dari proyek ini adalah meningkatakan ketersediaan, menghasilkan dan kerasionalan penggunaan obat bermutu bagi semua penduduk Indonesia. . Studi ini terutama ditekankan pada keterbatasan dana pembiayaan obat terutama pada paska krisis dan dampak terhadap pertumbuhan penduduk pada masa yang akan datang yang meliputi kesempatan kerja, pendidikan, perumahan dan  sistem kesejahteraan sosial. Hasil dari penelitian ini adalah analisis umum dan rekomendasi bagaimana mengembangkan secara bermagna pengadaan  dan distribusi sediaan farmasi di Indonesia dan memberikan beberapa indikasi untuk langkah selanjutnya untuk pembuat keputusan untuk mengembangkan dan memperbaharui efisiensi biaya di sektor pengelolaan obat.Langkah-langkah yang dianjurkan meliputi.
·         Penelitian lebih rinci tentang penilaian dari perencanaan sekarang, manajemen, penyusunan anggaran  dan evaluasi lebih kritis  sebagai kunci perubahan dari sistem pengelolaan obat.
·         Mendukung pemerintah untuk mendesain dan melaksanakan  strategi dan proses pelaksanaan pemilihan strategi reformasi.1)
Pusat penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI mempunyai penelitian yang dapat mendukung rekomendasi dari penelitian tersebut di atas antara lain:
1.            Analisis komponen harga obat (1997 /1998) dubiayai oleh anggaran rutin.
2.            Pada tahun 1999 / 2000 dilakukan penelitian Pengembangan Pola Pembiayaan Obat Penyakit Menular di RSU dan Puskesmas adalah salah satu penelitian operasional dari Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular dengan biaya dari ADB dan tahun 2001 dilanjutkan dengan uji coba pedoman. Penelitian ini dilakukan dengan cara adopsi sebagian pedoman Rapid Pharmaceutical assessment :  An Indicator Based Approach (1995), hasil kerjasama PAHO dengan WHO . Hasil dari penelitian ini telah disesuaikan keadaannya dengan daerah (Kabupaten Pekalongan) dan hasilnya data dasar indikator pembiayaan obat di Kabupaten Pekalongan .dan
         Pedoman Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat.2), 3)
3.            Uji coba Pedoman Evaluasi dan Pembiayaan Obat di Puskesmas Kabupaten        
         Pekalongan dilakukan pada tahun 2001 dengan biaya ADB.
4.            Analisis biaya perawatandan biaya obat pasien rawat inap du rumah sakit Sidoarjo (2001)
Penelitian yang ke dua ini bertujuan untuk medesain pedoman untuk penilaian efektifitas sistem, jadi merupakan penilitian lanjutan penelitian pertama.
Analisis Pengadaan dan Pendistribusian selama  Krisis menganalisis hasil penelitian pertama dan kedua.
.

PEMBAHASAN
.Hasil Analysis and Recommendation regarding GOI’S Pharmaceucal Policies ( Asem Trust Fund 2000 ) dan penelitian Pembuatan dan uji coba Pedoman Evaluasi  Pengelolaan dan Pembiayaan Obat di Fasilitas Kesehatan Kabupaten ( Pusat Penelitian Farmasi dan Obat Tradisional Badan Litbang Kesehatan 1999 /2000 dan 2001). Penelitian tesebut mendukung rekomendasi dari hasil penelitian tentang membuat standar pengelolaan dan pembiayaan obat dan sosialisasinya.

Analysis and Recommendation regarding GOI’S Pharmaceutical Policies.
Kebijaksnaan obat nasional (KONAS) 3)
Kebijaksanaan Obat Nasional dicanangkan sejak tahun 1983 berdasarkan formula The National Health System dari WHO. Ada lima pokok kebijaksanaan obat nasional meliputi
1.      Memperkuat upaya kesehatan;
2.      Mengembangkan sumber daya manusia dan pengawasan;
3.      Pengadaan dan supervisi obat, makanan dan bahan berbahaya;
4.      Meningkatkan gizi dan kesehatan lingkungan;
5.      Memperkuat manajemen dan peraturan-perundangan.
Kebijaksanaan obat nasional ini dijabarkan sebagai dasar dan bagian perencanaan jangka panjang sistem kesehatan masarakat. Tujuan dari KONAS sebagai subsistem dari sistem kesehatan nasional terdiri dari tujuan, kebijakan umum, langkah-langkah dan 12 perangkat. Tiap perangkat selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan, kebijakan dan langkah-langkah.
Tujuan KONAS 3)
1.      Ketersediaan dan kecukupan obat dalam jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan upaya kesehatan.
2.      Meningkatkan distribusi obat secara periodik dan merata, jadi obat harus mudah didapat setiap waktu orang membutuhkannya dan terjangkau.
3.      Efikasi, keamanan, mutu terjamin dan pemasarannya legal, serta meningkatkan penggunaan yang sesuai, rasional, dan efisien.
4.      Melindungi masyarakatdari salahguna dan penyalahgunaan obat yang meliputi narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
5.      Kuatnya sektor industri farmasi dapat menunjang peningkatan perekonomian dan bertujuan swasembada obat.

Langkah-langkah KONAS meliputi :3)
·         Evalusi, pengujian dan registrasi;
·         Konsep daftar obat esensial;
·         Pengadaan dan produksi;.
·         Distribusi dan peracikan;
·         Penandaan, promosi, informasi, dan pendidikan;
·         Jaminan mutu;
·         Melindungi aliran dan penggunaan obat;
·         Obat tradisional;
·         Peraturan perundangan;
·         Riset dan pengembangan;
·         Pengembangan sumberdaya manusia.

KONAS dilaksanakan menggunakan peraturan - perundangan dan pengembangan program. Oleh karena situasi nasional dan global dilakukan pengembangan KONAS. .Peninjauan ulang yang sedang berjalan  berdasarkan  kesuksesan dan kegagalan pelaksanaan KONAS.
.Faktor-faktor baru yang mempengaruhi KONAS
1.      Undang-undang .dan peraturan yang mempengruhi KONAS.
·         Undang-undang Kesehatan no 23 / tahun 1992 disyahkan oleh DPR termasuk peraturan tentang obat. Undang-undang ini sebagai dasar  konsep tentang kebijakan kerasionalan penggunaan obat dan penulisan R / generik di pelayanan kesehatan pemerintah. Pengembangan dilanjutnya dengan membuat konsep daftar obat esensial; menjamin keamanan, efikasi, mutu obat; dan mempromosikan kerasionalan pengguanan obat baik pada pembuat R / dan konsumen. Peraturan  Menteri Kesehatan no. 72 / 1998 tentang Keamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan disyahkan.
·         Peraturan-perundangan tentang desentralisasi, undang-undang no. 22 / tahun tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang no. 25 / tahun 1999 tentang Keseimbangan Keungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; serta Peraturan Pemerintah no. 25 / tahun 2000 tentang Kekuasaan Pemerintah Pusat dan Propinsi disyahkan pada tanggal 6 Mei 2000 dan operasinya dimulai tanggal 6 November 2000. Peraturan perundangan ini bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat, keadilan,dan hukum desentralisai dengan memperhatikan  budaya daerah, dan penekanan pada potensi dan kekhasan daerah.
·         Undang-undang tentang perlindungan Konsumen no. 8 / 1999 adalah melindungi hak konsumen untuk mendapatkan informasi benar, jelas, dan jujur; dan mendapatkan kopensasi bila terjadi kasus ketidak lengkapan spesifikasi produk. Pemerintah mendukung pelaksanaan Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion yang mengacu pada World Health Assembly ke 41.

2.      Kebijakan KONAS
Paradigma Indonesia Sehat 2010, paradigma ini ditekankan pada persoalan :
·         Berorientasi pada program paradigma sehat; karena keterbatasan dana dan  kondisi kesehatan yang memburuk sewaktu krisis, untuk.pengembangan paradigma sehat harus dilaksanakan .pula pencegahan penyakit, oleh karena itu penggunaan dana harus lebih efisien.
·         Anggaran sektor Sehat; reformasi pada anggaran perawatan kesehatan .memastikan nilai yang lebib baik dan efisiensi sistem untuk meningkatkan .mutu perawatan yang lebih baik
·         Kebijakan kesehatan masyarakat dan pelaksanaannya tetap kecil  pengaruhnya terhadap kesehatan penduduk. Karena kebijakan kesehatan berperan ganda melaksanakan pembangunan kesehatan dan paradikma sehat.
·         Reformasi kesehatan dari hasil pengamatan subsidi pemerintah dalam pelayanan kesehtan dasar lebih banyak digunkan oleh masyarakat yang mampu, Karena klasifikasi penduduk miskin belum diidentifikasi secara terpadu antara masyarakat dan  aparat pemerintah.

3.      Indonesia sebagai anggota WTO harus mematuhi  a.l. peraturan hak paten produk obat.

PEMBIAYAAN DAN PENGADAAN OBAT
1.      Pembiayaan, pengadaan dan distribusi obat sektor pemerintah.
Pembiayaan dan pengadan obat sektor pemerintah meliputi :
·         Pengadaan pusat yang dibiayai oleh INPRES, program khusus, dan biaya lokal yang dipusatkan sebesar 80 %.dan dengan berlakunya peraturan perundangan desentralisasi pengadaan obat akan di daerahkan.
·         Kebijakan pengadaan obat INPRES adalah obat generik
·         Pengadaan daerah yang dibiayai oleh biaya lokal dan ASKES sebesar 20 %.
·         Kemudian didistribusikan ke Gudang Farmasi Kabupaten / kota  dan akhirnya didistribusikan ke puskesmas dan RSU.
Komsumsi obat dari pemerintah adalah semua pasien puskesmas dan pasien RSU yang mempunyai kartu sehat.
2.  Konsumsi obat di Indonesia.
·         Dibawah in terlihat daftar komsumsi obat bedasarkan harga dasar tahun 1995, dari   
 data tersebut dapat terlihat bahwa :.
·         Penggunaan obat generik dalam Rp disesuaikan dengan inflasi sebelum krisis (1995 –1997) naik dengan rerata 10 %, dan obat yang lain naik 16 % tahun 1996 & 1,8 % tahun 1997.
·         Penggunaan obat generik dalam Rp disesuaikan dengan inflasi sewaktu  krisis (1998 –1999) turun menjadi – 15 % tahun 1998 & naik menjadi 17 % tahun 1999 dan obat yang lain turun menjadi – 26 % tahun 1988 & turun lagi menjadi – 9,3 % tahun 1999.

Dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sewaktu krisis penggunaan obat  generik tahun pertama krisis (1998) turun -15 % & meningkat lebih tinggi dari normal (17 %) tahun 1999 . Tetapi obat bermerk pada permulaan turun sampai - 26 % tahun 1998 & turun lagi  - 9,3 % tahun 1999


     Tabel 1. Konsumsi obat di Indonesia dari tahun 1995 – 1999 bedasarkan harga dasar      
                   1995.

1995
1996
1997
1998
1999
Semua harga (dalam trilyun Rp)
Obat generik
Kenaikan / tahun
0,33

0,38
15 %
0,47
27 %
0,71
51 %
0,98
38 %
Lainnya
Kenaikan / tahun
1.97
2,43
23 %
2,73
8,2 %
3,59
32 %
3,84
7 %
Total
Kenaikan / tahun
2,30
2,81
22 %
3,20
14 %
4,30
38 %
4,82
12 %
Semua harga dasar (dalam triyun Rp)
Inflasi
9,0
6.6
10,3
77.6
17,8
Indeks inflasi
100
106,6
117,6
208,9
246,1
Obat generik
0,33
0,36
0,40
0,34
0,40
Kenaikan / tahun
                9 %               11 %             - 15 %            17 %
Lainnya
1,97
2,28
2,32
1,72
1,56
Kenikan / tahun
               16 %              1,8 %              - 26 %           - 9,3 %
Total
2,30
2,63
2,72
2,06
1,96
Kenaikan / tahun
               14 %             3,4 %             - 24 %            - 4,9  %
Dalam dolar (dalam juta $)
Kurs  Rp / $
2.300
2.400
3.500
10.000
7.500
Total
1.000
1.167
914
430
643
Konsumsi pribadi (dalam milyar Rp)
Harga dasar dari 93 jenis
234
257
277
268

Kenaikan / tahun
                9,8 %           7,8 %               - 3,2 %
Program INPRES (dalam milyar Rp)
Harga berjalan
151                158               161                  354
Harga dasar 93 jenis
151                148               137                  169

Sumber : .POM complated from several sources, BPS

·         Berdasarkan sumber biaya, konsumsi obat tahun 1995 terdiri dari :
·         Pemerintah (pusat dan lokal)                              10 %
·         Asuransi                                                               2,7 %
·         Pekerja / perusahaan                                            9,7 %
·         Biaya masyarakat                                               77.6 %
Sumber MIM






DIREKOMENDASIKAN
·         Melaksanakan Konas berdasarkan  peraturan perundangan.
·         Strategi didukung oleh pelaksanaan Konas dengan membentuk suatu Komite Nasional untuk melaksanan Konas dan diikuti oleh koordinasi monitoring dan evaluasi pelaksanan Konas. Serta menjabarkan Konas untuk setiap unit dan mensosialisasikan Konas dengan paradigma Sehat 2010.
·         Pelaksanaan kebijakan obat dilakukan dengan cara membuat standar pengelolaan obat di fasilitas kesehatan, mensosialisasikan, mensupervisi, akriditasi, dan meningkatkan efisiensi.
·         Pengadaan obat; membentuk suatu Komite Nasional Pengawasan Obat untuk melaksanakan pengawasan penetapan harga obat yang rasional. Menilai kerasionalan harga obat bermerk (me too) yang diikuti oleh  Amerika adalah dibandingkan dengan harga obat generik sejenis. Misal, di Amerika ditetapkan harga obat bermerk tidak boleh lebih dari 5 kali harga obat generiknya, sedangkan di India hanya 1,1 kalinya. Menyebarkan poster atau brosur perbedaan harga obat di Apotik.4)
·         Desentralisai, untuk mendukuang desentralisasi  harus dilakukan KIE, pelatihan dan mensosialisasikan standar pengelolaan obat di fasilitas kesehatan pemerintah.
·         Terbatasnya Anggaran Kesehatan Pemerintah; subsidi obat hanya diutamakan untuk penduduk miskin yang telah diidentifikasi kebenarannya; mengembangkan asuransi kesehatan dan JPKM; harga obat dan penggunaan obat yang rasional.

HASIL PENELITIAN DI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN FARMASI 
Hasil penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi yang dapat mendukung rekomendasi tersebut di atas dari tahun 1997 – 2001, terdiri atas :
a.      Analisis komponen harga obat tahun 1997 /1998, dengan hasil sebagai berikut: (5)
Masalah : berdasarkan hasil analisis dari survei harga 22 jenis obat yang banyak digunakan di 29 negara Asia – Pasifik tahun 1995 oleh HAI (Health Action International) dari The Regional Office for Asia and Pacifik di Penang menyatakan bahwa harga obat di Indonesia termahal di negara Asia.
Pertanyaan penelitian:  Apakah benar  harga obat di Indonesia termahal di Asia ?; Berapa komponen yang mempengaruhi tingginya harga obat di Indonesia ?.
Tujuan umum: Mendapatkan informasi komponen harga obat untuk kebijaksanaan    
                        harga obat.
Tujuan khusus: -   pengaruh kapasitas mesin dengan pertumbuhan penjualan .
-          pengaruh biaya promosi dengan pertumbuhan penjualan.
-          Pengaruh biaya produksi dengan pertumbuhan penjualan.
      Manfaat : Informasi komponen pembentuk harga obat diharapkan dapat merupakan      
      masukan bagi Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan Dpartemen Kesehatan RI     
      dalam upaya kebijaksanaan pengawasan dan pengendalian harga obat.
      Kesimpulan.
      Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pertumbuhan penjualan dari 20 industri farmasi dari  tahun 1992 – 1996dengan    
      harga dasar 1992 cukup tinggi berkisar antara 14 – 156 %; berarti pasar obat di    
      Indosia cukup potensial. Kenaikan pertumbuhan ini tergantung dari besar –     
      kecilnya kapasitas mesin yang digunakan. Makin besar kapasitas mesinnya makin               
      kecil pertumbuhan penjualannnya.. Pada industri farmasi yang kapasitas mesinnya         
      sudah penuh, pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pangsa pasar  
      produk unggulan.
2.      Rerata penggunaan kapasitas mesin sekitar 61 % dan 39 % kapasitas mesin masih      
      nganggur; berarti produksi obat di Indonesia menggunakan biaya tinggi.  Oleh    
      karena itu untuk menurunkan harga obat dapat dilakukan dengan penggabungan         
      industri farmasi sejenis untuk meningkatkan kapasitas messin.
3.      Biaya promosi berkisar antara 10 – 25 % dapat dianggap wajar. Akan tetapi perbandingan upah berkisar antara 6 – 44 %, pada umumnya biaya upah adalah 60 % dan biaya seminar dan lain-lain berkisar antara 36 – 83 %; berarti biaya promosi dapat diturunkan mendekati biaya upah.
4.      Baya produksi per jumlah penjualan sangat bervariasi berkisar antara 9 –61 %. Perbedaan ini disebabkan oleh karena perbedaan bahan baku dan standarnya, bentuk sediaan, kapasitas mesin, biaya promosi dan bentuk serta jenis kemasan.
5.      Pertumbuhan penjualan mempunyai korelasi yang bermakna dengan kapasitas mesin dan biaya promosi.
b.      Penelitian Penyusunan dan Uji CobaPedoman Evaluasi Pengelolaan dan        
      Pembiayaan Obat di Fasilitas Kesehatan Kabupaten Pekalongan. (6)
      Pada tahun 1999 / 2000  melaksnakan penelitian  penyusunan Pedoman Evaluasi          
      Pengelolaan dan Pembiayaan Obat di puskesmas dan RSU Kabupaten Pekalongan .
      Pertanyaan penelitian: Berapa anggaran atau biaya obat ?; Berapa biaya pemulihan ?;        
      Bagaimana cara pengdaannya ?; Bagaimana mengawasi penyimpanannya ?;       
      Bagaiman menghitung akses pasien dan kerasionalan penggunaan obat ?; Bagaimana    
      menghitung harga riil obat ?; dan Bagaimana menghitung kemamapuan pasien   
      membayar ?.
      Masalah penelitian : belum adanya metoda standar untuk mengevaluasi pengelolaan   
      dan pembiayaan obat di puskesmas dan RSU.
     Tujuan : tujuan umum : menyusun pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan          
                                            obat di fasilitas kesehatan kabupaten.
               Tujuan khusus : menyusunan pedoman dan menghitung indikator penilaian    
                                            efisiensi dan keberhasilan sistem
     Manfaat: Pedoman evaluasi pengelolaan obat dapat digunakan sebagai pelengkap        
     kebijaksanaan obat nasional untuk mengukur efetifitas sistem dan efisiensi pengadaan  
     obat di fasilitas kesehatan.
  Hasil:   Pedoman Evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat 
Perlu dikembangkan suatu metode baku penetapan indicator untuk menilai keberhasilan program Kebijaksanaan obat yamg telah dilaksanakan selama ini. Pada tahun 1995 WHO bekerja sama dengan PAHO menerbitkan metotode pengukuran indicator secara cepat dengan judul “ Rapid Phamaceutical Management Assessment : An Indicator – Based Approach “
 Dengan metode baku ini dikembangkan buku Pedoman pengukuran indicator  berjudul “Evaluasi Pengelolaan & Pembiayaan Obat “ di GFK, Puskesmas, dan RSU dari hasil penelitian ICDC tahun 1999 / 2000 di Kabupaten Pekalongan. Dari hasil survei dihasilkan data dasar indicator  dan Pedoman Evaluasi Pengelolaan & Pembiayaan Obat yang telah disesuaikan dengan keadaan setempat. Indikator ini dapat digunakan untuk memonitor aspek sistem pengeloaan dan pembiayaan obat antar instansi.
Buku pedoman ini digunakan oleh pembuat keputusan sebagai metode baku untuk mengukur sendiri indicator untuk menilai efektifitas dan efisiensi pengelolaan dan pembiayaan . obat yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Dari hasil survei tersebut dapat ditetapkan 27 indikator dari 7 kelompok indicator untul menilai efektifitas dan efisiensi pengelolaan & pembiayaan obat di GFK, Puskesmas, dan RSU, serta telah disesuaikan dengan keadaan setempat. Set data 27 indikator tersebut tercantum dalam Tabel 1.
Dalam Tabel ini memperlihatkan kelompok indicator ada 5 topik manajemen pengelolaan  dan pembiayaan obay sebagai berikut :
1.      Anggaran dan Biaya kesehatan [3 indikator].
2.      Pemulihan Biaya / cost recovery [2 indikator].
3.      Pengadaan Obat [3 indikator]
4.      Penyimpanan obat [3 indikator].
5.      Akses pasien dan Pemanfaatan obat / rasionalisai penggunaan obat [9 indikator].
6.      Biaya riil obat per kuratif [3 indikator].
7.      Kemampuan Membayar [4 indikator]
Hasil pengukuran indicator tersebut di atas dapat digunakan sebagai data dasar pengembangan kebijaksanaan atau perencanaan atau pengawasan anggaran, pengadaan, penyimpanan, kerasionalan penggunaan obat, biaya riil obat per kuratif, dan kemampuan membayar.
 Pedoman ini dikembangkan dengan harapan untuk mendapatkan indicator yang mempunyai indicator dengan kriteria  sebagai berikut :
1.      Indikator harus menggambarkan demensi penting untuk keberhasilan.
2.      Indikator harus dapat dihitung dengan batasan waktu dan variabel kualitas dari data yang tersedia.
3.      Masing-masing indicator harus dapat dipercaya,
4.      Masing-masimg indicator harus valid.
Pedoman ini digunakan sebagai metoda baku pengukuran indicator pada system pengelolaan obat di pelayanan kesehatan dan GFKsebagai pelengkap kebijaksanaan obat nasional..

Tabel 1. Daftar indicator sistem  pengelolaan dan pembiayaan obat di pelayanan kesehatan di Kabupaten Pekalongan.
A. Anggaran dan Biaya Kesehatan.
1.      Biaya obat per kapita.                                                                                                       
2.      Persentase biaya obat  per anggaran rutin kesehatan.                       
3.      Persentase biaya obat sumber lain per biaya obat.                                   
B.     Biaya Pemulihan / cost  Recovery.
1.      Persentase pasien yang membayar restribusi.
2.      Persentase biaya pemulihan pengobatan.
C.     Pengadaan Obat.
1.      Persentase pengadaan obat generic per pengadaan obat .                      
2.      Perdentase pengadaan obat pusat per pengadaan obat .                           
3.      Persentase pengadaan obat di Dati II.                                                      
4.      Persentase pengadaan obat dari sumber lain                                            
D.    Penyimpanan Obat
1 Persentase rerata variasi penggunaan setiapjenis obat dari set indicator obat.
      2.Persentase rata- rata obat yang daluarsa per jumlah jenis obat yang mempunyai  
         daluarsa dalam set indicator obat.                                                                   
      3.Persentase rerata waktu kekosongan obat  dari set indicator obat.                 
E.     Akses Pasien dan Pemanfaatan obat.
1.      Rasio jumlah penduduk per  fasilitas kesehatan [RSU / Puskesmas}.
2.      Rasio jumlah penduduk per peracik obat [apoteker + AA di Puskesms / RSU].
3.      Rasio jumlah penduduk per  pembuat R/ [dr, drg, bidan, perawat di puskesmas / RSU.
4.      Lamanya pelayanan medis di puskemas / RSU.
5.      Lamanya pelayanan peracikan obat di puskesmas / RSU.
6.      Jumlah rerata obat per lembar  R/ pasien rawat jalan di puskesmas / RSU.
7.      Persentase rerata penggunaan  obat generik per lembar R/ untuk pasien rawat jalan di puskesman / RSU.
8.      Persentase jumlah lembar R/ yang mengandung antibiotik per jumlah lembar R/.
9.      Persentase jumlah lembar R/ yang mengandung injeksi per jumlah R/.
F.      Biaya Riil Obat per Kuratif
1.      Rasio jumlah pasien per jumlah penduduk.                                 
2.      Harga riil obat per kuratif.
3.      Persentase biaya obat program per biaya obat .
4.      Persentase jumlah lembar R/ yang setara pedoman pengobatan.

G.    Kemampuan membayar.
1.     Rerata pendapatan pasien rawat jalan.
2.            Rerata belanja makanan pasien rawat jalan.
3.            Rerata belanja bukan makanan pasien rawat jalan.
4.            Penetapan tarif retribusi sesuai dengan kemampuan masyarakat.


c.       Uji coba penggunaan pedoman  evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat     
      sedang dilakukan sedang dilakukan di Kabupaten Pekalongan dengan dana   
      ACDC / ADB tahun 2001
Masalah penelitian,tenaga pengelola obat pelayanan kesehatan kabupaten belum dapat  mengaplikasikan   “Pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat” sendiri untuk menghitung indikator penilaian keberhasilan dan efisiensi sistem.
Pertanyaan penelitian, apakkah petugas pengelola obat dapat mengaplikasikan Pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat ini ?
Tujuan, uji coba Pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di pelayanan kesehatan dan meningkatkan kemmampuan petugas pengelola obat.
Manfaat, pedoman ini dapat digunakan sebagai pedoman baku untuk menghitung indikator untuk mengevaluasi keberhasilan, efisiensi sistem pengelolaan obat dan data dasarnya digunakan untuk perencanaan. Indikator pengelolaan obat .meliputi anggaran dan biaya kesehatan, pemulihan biaya, pengadaan obat, penyimpanan obat, akses pasien dan pemanfaatan obat, biaya riil obat, dan kemampuan membayar.
Metodologi, jenis penelitian : Quasi experimental dengan pendekatan action research [ untuk mengubah kemempuan petugas dengan menggunakan pedoman “ Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat”]
Hasil, sedang berjalan sehingga belum diolah.
d.      Penelitian Penyusunan Evaluasi Pengawasan Obat berdasarkan pengukuran     
       indikator belum dilakukan.

Perlu dikembangkan suatu metode baku penetapan indicator untuk menilai keberhasilan program Kebijaksanaan Obat Nasional yang telah dilaksanakan selama ini. Pada tahun 1995 WHO bekerja sama dengan PAHO menerbitkan metotode pengukuran indicator secara cepat dengan judul “ Rapid Phamaceutical Management Assessment : An Indicator – Based Approach “
 Dari metode baku ini dapat diadopsi untuk membuat  Pedoman pengukuran indicator  berjudul “Evaluasi Pengawasan Obat
Buku pedoman ini digunakan oleh pembuat keputusan sebagai  metode baku untuk mengukur sendiri indicator untuk menilai efektifitas dan efisiensi sistem.
Dalam Tabel ini memperlihatkan kelompok indicator ada 5 topik manajemen pengawasan  .obat sebagai berikut :
1.      Kebijaksanaan, peraturan dan perundangan (7 indikator).
2.      Daftar formula / obat esensial dan informasi obat (4 indikator).
3.      Anggaran dan Biaya kesehatan [4 indikator].
4.      Pemanfaatan dan kerasionalan penggunaan obat ( 4 indikator)
5.      Jaminan mutu produk (3 indikator).
6.      Aktivitas pengawasan sektor swasta (9 indikator)
Hasil pengukuran indicator tersebut di atas dapat digunakan sebagai data dasar pengembangan kebijaksanaan atau perencanaan atau pengawasan anggaran,  kerasionalan penggunaan obat, pengawasan mutu, obat tersedia dengan  harga  terjangkau dan merata.
 Pedoman ini dikembangkan dengan harapan untuk mendapatkan indicator yang mempunyai indicator dengan kriteria  sebagai berikut :
1.            Indikator harus menggambarkan demensi penting untuk keberhasilan.
2.            Indikator harus dapat dihitung dengan batasan waktu dan variabel kualitas dari data yang tersedia.
3.            Masing-masing indicator harus dapat dipercaya,
4.            Masing-masimg indicator harus valid.
Pedoman ini digunakan sebagai metoda baku pengukuran indicator pada system Pengawasan Obat.



 
KESIMPULAN
Pada awal tahun 1999 Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dengan biaya dari Bank dunia mengadakan studi secara komprehensif tentang Pengadaan dan Distribusi sediaan farmasi di Indonesia.. Tujuan umum dari proyek ini adalah meningkatakan ketersediaan, menghasilkan dan kerasionalan penggunaan obat bermutu bagi semua penduduk Indonesia. . .
. Hasil dari penelitian ini adalah analisis umum dan rekomendasi bagaimana mengembangkan secara bermagna pengadaan  dan distribusi sediaan farmasi di Indonesia dan memberikan beberapa indikasi untuk langkah selanjutnya untuk pembuat keputusan untuk mengembangkan dan memperbaharui efisiensi biaya di sektor pengelolaan obat.
Langkah-langkah yang dianjurkan meliputi.
·         Penelitian lebih rinci tentang penilaian dari perencanaan sekarang, manajemen, penyusunan anggaran  dan evaluasi lebih kritis  sebagai kunci perubahan dari sistem pengelolaan obat.
·         Mendukung pemerintah untuk mendesain dan melaksanakan  strategi dan proses pelaksanaan pemilihan strategi reformasi.1)
Pusat penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI mempunyai penelitian yang dapat mendukung langkah-langkah dari penelitian tersebut di atas antara lain:
1.            Analisis komponen harga obat (1997 /1998) dubiayai oleh anggaran rutin.
2.            Pada tahun 1999 / 2000 dilakukan penelitian Pengembangan Pola Pembiayaan Obat Penyakit Menular di RSU dan Puskesmas .dengan cara mengadopsi sebagian pedoman Rapid Pharmaceutical assessment :  An Indicator Based Approach (1995), hasil kerjasama PAHO dengan WHO biaya ADB / ACDC. Hasil dari penelitian ini .adalah Pedoman Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat.
3.            Uji coba Pedoman Evaluasi dan Pembiayaan Obat di Puskesmas Kabupaten          Pekalongan dilakukan pada tahun 2001 dengan biaya ADB / ACDC.
4.            Analisis biaya perawatandan biaya obat pasien rawat inap du rumah sakit Sidoarjo (2001) dengan biaya Risbinkes IV.
5.            Penyusunan Pedoman Evaluasi Pengawasan Obat berdasarkan pengukuran indikator belum dilakukan.
6.            Penelitian yang ke dua ini bertujuan untuk medesain pedoman untuk penilaian efektifitas sistem, jadi merupakan penilitian lanjutan penelitian pertama.

SARAN

Langkah yang harus dilakukan untuk pembuat kebijakan meliputi :
1.            Mensosialisasikan Pedoman Evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat ke seluruh pelayanan kesehatan kabupaten.
2.            Melakukan penelitian lanjutan tentang Komponen Harga  Obat.
3.            Melakukan penelitian penyusunan Pedoman Evaluasi Pengawasan Obat berdasarkan pengukuran indikator.

BUKU RUJUKAN
1.            World Bank, Republic of Indonesia, Asem Thrust Fund, 2000, Responding The Crissis Supply and Distribution df Pharmaceuticals in Indonesia, Interim Report, Credes, Jakarta.
2.            PAHO-WHO, 1995, Rapid Pharmaceutical Management Assessment: An Indicator-Based Approach, Washington DC.
3.            Sriana Azis & Herlan Affandi, Pengembangan Pola Pembiayaan, 2000, Obat penyakit Menular di RSU dan Puskesmas Kabupaten Pekalongan, laporan penelitian, Pekalongan.
4.            Sriana Azis DKK, 1998, Penelitian Analisis Komponen Pembentuk Harga Obat, laporan penelitian, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar